1.1. Latar Belakang
Krisis moneter yang melanda kawasan Asia Timur dan
Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1997/1998 memberikan dampak krisis ekonomi
dan krisis politik yang parah di Indonesia. Krisis perekonomian Indonesia yang
dipengaruhi oleh Krisis moneter di kawasan Asia membawa bangsa Indonesia
kedalam keterpurukan. Sejak pertengahan Juli tahun 1997, Rupiah mengalami
tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar.
Krisis yang pada awalnya hanyalah krisis nilai tukar berkembang menjadi krisis
perbankan, hingga menjalar menjadi krisis sosial dan politik yang membawa
keterputukan bagi bangsa Indonesia.
Turunnya kurs Rupiah terhadap US Dollar pada
pertengahan Juli tahun 1997 mengakibatkan perubahan pada sistem pertukaran
menjadi free floating system. Akibatnya,
nilai rupiah menjadi turun dan terjadi inflasi yang tinggi. Krisis ekonomi di
Indonesia bukan hanya terjadi pada tahun 1997/1998, tetapi pada tahun 2008
sampai 2009 dunia juga mengalami krisis ekonomi yang hebat. Tingginya laju
inflasi pada waktu itu menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat, khususnya
golongan berpendapatan rendah. Hal ini sesuai dengan teori Keynes (Alvin, 1964)
bahwa jumlah uang menjadi suatu faktor yang penting dalam menentukan jumlah
pengeluaran, perubahan jumlah uang dapat mempengaruhi tingkat bunga, dan fungsi konsumsi. Jadi,
jumlah uang menimbulkan perubahan dalam permintaan seluruhnya.
Pada era 1997/1998, untuk menekan laju inflasi yang
begitu tinggi Soeharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan menertibkan
anggaran, menertibkan sektor perbankan, dan mengembalikan ekonomi pasar. Suatu
sistem ekonomi pasar bebas menjadikan setiap orang bebas untuk bertindak
melakukan yang terbaik bagi dirinya di mana sistem devisa yang terlalu bebas
tanpa adanya pengawasan yang ketat, memungkinkan arus modal mengalir keluar
masuk secara bebas. Hal ini membuka peluang yang sangat besar kepada setiap
orang untuk melibatkan dirinya di pasar valas. Masyarakat bebas membuka
rekening valas di dalam negeri atau diluar negeri. Valas bebas diperdagangkan
di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat
keuangan di luar negeri. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya
krisis yang berkepanjangan dengan
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (Tarmidi, 2003: 4). Selain
itu, faktor penyebab terjadinya krisis adalah karena lemahnya sistem perbankan
di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang
swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Dalam
hal ini pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti
cepatnya pertumbuhan sektor perbankan, di mana penegakan hukum terhadap
bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman kepada
kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan
pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank
yang sesunguhnya tidak bermodal cukup atau kekurangan modal, tetapi tetap
dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai
terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai
pengendali, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak
sehat.
Kondisi perekonomia Indonesia dengan keaadan tersebut
telah mengakibatkan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar menjadi terdepresiasi
hingga mencapai Rp14.900 (lihat Gambar 1.1). Dengan terdepresiasinya nilai
tukar rupiah, secara otomatis tingkat inflasi meningkat dari 10,26% pada tahun
1997 menjadi 77,54% pada tahun 1998. Tingginya tingkat inflasi di suatu negara
dapat menghambat pertumbuhanekonomi ke arah yang lebih baik. Hal itu terbukti
dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terkontraksi dari 4,7% pada tahun 1997
menjadi -13,13% pada tahun 1998 (lihat Gambar 1.2). Kondisi ini telah
memberikan guncangan terhadap perekonomian Indonesia, tidak terkecuali pada sektor
moneter.
Gambar 1.1.
Pergerakan Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar, 1990-2005
Sumber: IMF (2013)
Gambar 1.2. Pergerakan
Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1990-2005
Sumber: IMF (2013)
Krisis yang menimpa Indonesia tersebut
memberikan dampak resesi bagi perekonomian Indonesia. Kondisi yang demikian menimbulkan
3 (tiga) dampak negative terhadap perekonomian nasional, yakni:
1. Neraca
Pembayaran Negatif (Negative Balance of
Payments).
Neraca
ini terjadi terutama karena fluktuasi nilai tukar utang dalam valuta asing jika
dirupiahkan. Utang perusahaan swasta maupun milik pemerintah yang demikian
besar telah memberatkan beban neraca pembayaran, kontras dengan kenaikan nilai
ekspor sebagai konsekuensi dari ter-depresinya nilai rupiah yang tidak dapat
segera dinikmati.
2. Selisih
Bunga Negatif di Bidang Keuangan (Negative
Spread).
Dampak
ini terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah untuk
menaikkan suku bunga dalam rangka menekan laju inflasi (permintaan terhadap
valas) telah mengakibatkan naiknya suku bunga bank. Sedangkan dana yang
terkumpul dari masyarakat mengalami kesulitan penyalurannya disebabkan
kelangkaan perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas suku bunga.
3. Defisit
Modal (Negative Equity).
Perusahaan
yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami apa yang disebut negative eguity sebab nilai kekayaannya
dalam rupiah tidak cukup lagi, bahkan berbeda jauh jika dibandingkan dengan
nilai rupiah dari utang valuta asing.
Krisis yang dialami Indonesia pada tahun 1997/1998,
tahun 2008 sampai 2009 menandakan krisis yang berkepanjangan diberbagai bidang.
Tidak hanya sebatas krisis perbankan, namun menjalar menjadi krisis sosial dan
politik. Hal tersebut secara otomatis memperburuk kondisi ekonomi di Indonesia.
Kondisi krisis yang terjadi pada tahun 1997 hingga
1998, hanya sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang mampu tetap
berdiri kokoh. Data Badan Pusat Stastistik merilis keadaan tersebut pasca krisi
ekonomi jumlah UMKM tidak berkurang, justru meningkat pertumbuhannya. bahkan
mampu menyerap 100 juta hingga 114 juta tenaga kerja pada tahun 2013. Pada
tahun itu jumlah UMKM di Indonesia adalah sebanyak 57.895.721 unit (lihat Tabel
1.1).
Dari jumlah tersebut, UMKM sebanyak 56.534.592 unit
atau sebesar 99,99%. Sisanya sekitar 0,01% atau sebesar 4.968 unit adalah Usaha
bersekala besar. Fenomena ini menjelaskan bahwa UMKM merupakan usaha yang
produktif untuk dikembangkan untuk mendukung perkembangan ekonomi secara makro
dan mikro di Indonesia dan mempengaruhi sektor-sektor yang lain agar dapat
berkembang.
Tabel 1.1. Perkembangan UMKM pada Periode 1997-2013
No.
Tahun
Jumlah UMKM
Jumlah Tenaga Kerja UMKM
1
1997
39.765.110
65.601.591
2
1998
36.813.578
64.313.573
3
1999
37.911.723
67.169.844
4
2000
39.784.036
72.704.416
5
2001
39.964.080
74.687.428
6
2002
41.944.494
77.807.897
7
2003
43.460.242
81.942.353
8
2004
44.777.387
80.446.600
9
2005
47.017.062
83.586.616
10
2006
49.021.803
87.909.598
11
2007
50.145.800
90.491.930
12
2008
51.409.612
94.024.278
13
2009
52.764.603
96.211.332
14
2010
53.823.732
99.401.775
15
2011
55.206.444
101.722.458
16
2012
56.534.592
107.657.509
17
2013
57.895.721
114.144.082
Sumber: BPS (22
Desember 2016)
Dari tabel diatas, pertumbuhan UMKM
setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tidak terkecuali pasca terjadinya krisis
moneter Indonesia. UMKM merupakan salah satu sector yang tidak terpengaruh
terhadap perubahan perekonomian global. Keberadaan UMKM mampu menyerap hamper
50% dari jumlah penduduk Indonesia. Hal tersebut menandakan keberadaan UMKM
dapat memperluas lapangan pekerjaan dan dapat mengurangi kemiskinan.
Salah satu sektor UMKM yang
berkembang pesat di Indonesia adalah industri ritel. Ritel adalah sektor
industri yang populer dan sudah mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia
sejak dahulu. Hal ini ditandai dengan tersebarnya warung dan toko kelontong
hampir disetiap daerah mulai di pedesaan hingga kota besar. Industri ini terus
berkembang seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Bahkan ritel diklaim
sebagai industri yang paling tahan oleh gelombang krisis tersebut mengingat
konsumsi domestik Indonesia cukup besar, yaitu 54,6 % (data BPS 2012) dan
akan terus bertumbuh. Industri ritel
akan bertumbuh sekitar 10-15 persen pertahun. Hal ini disampaikan oleh Wakil
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Tutum Ruhanta (Majalah
Marketeers, Januari 2012).
Pertumbuhan industri ritel di
Indonesia diiringi dengan Perkembangan pasar modern yang dalam beberapa tahun
terakhir ini relatif sangat pesat. Tren masuknya ritel asing ke Indonesia
diawali dengan masuknya Carrefour
diikuti Lotte Mart dari Korea, Circle K, dan 7Eleven. Perkembangan sosial ekonomi, peningkatan daya beli
konsumen dan perbaikan ekonomi akan terus meningkatkan pertumbuhan industri
ritel di Indonesia.
Dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi pergeseran
preferensi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, di mana masyarakat
cenderung berbelanja di pasar-pasar modern (minimarket,
supermarket dan hypermarket). Alasan pergeseran preferensi konsumen
tersebut antara lain karena konsumen merasa lebih nyaman untuk berbelanja di
minimarket karena tidak becek, bau dan kotor; selisih harga yang tidak terlalu
jauh berbeda antara minimarket dengan pasar tradisional; harga produk yang
tetap (fixed price) yang berarti
tidak perlu tawar menawar antara konsumen dengan pemilik yang mana hal ini juga
berarti menghemat waktu dalam berbelanja; lokasi minimarket yang semakin dekat
dengan perumahan-perumahan sehingga lebih mudah dijangkau oleh masyarakat serta
adanya beragam produk yang dijual disatu gerai yang berarti lebih praktis dalam
berbelanja.
Survey Nielsen Retail Etablishment 2010 menyebutkan,
jumlah minimarket terus bertambah
karena konsumen merasa lebih nyaman berbelanja di pasar modern tersebut.
Pertumbuhan minimarket di tahun 2011
mencapai 42%, Data Nielsen Retail Establishment Survey mencatat, dibandingkan
2009, modern trade tumbuh 38% dengan 18.152 toko di Indonesia. Pertumbuhan ini
didorong peningkatan 42% minimarket
menjadi 16.922 toko. Secara geografis, 78% toko modern berada di Jawa dengan
pertumbuhan 35%. Hal ini juga disebabkan
secara kuantitatif kegiatan-kegiatan di sektor sekunder dan tersier masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa. Industri ritel memiliki kontribusi terbesar kedua
terhadap pembentukan Gross Domestic Product (GDP) setelah industri pengolahan.
Selain itu, itu dilihat dari sisi pengeluaran, GDP yang ditopang oleh pola
konsumsi juga memiliki hubungan erat dengan industri ritel. Pada saat ini di
kelompok minimarket, hanya terdapat
dua pemain besar yaitu Indomaret dan Alfamart. Indomaret merupakan pemain
terbesar dengan pangsa omset sekitar 43,2% dari total omset minimarket di Indonesia. Sementara
Alfamart mengikuti dengan pengumpulan omset sebesar Rp7,3 triliun atau sekitar
40,8% dari total omset minimarket di
Indonesia (Economic Review 2009).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari APRINDO
(Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) hingga Januari 2011 jumlah gerai minimarket di Indonesia sudah mencapai
18.152, naik 38% dibanding tahun 2009. Jenis pasar modern yang paling pesat
pertumbuhannya saat ini adalah minimarket,
dibandingkan dengan hypermarket dan supermarket, hal ini dapat disebabkan
karena kondisi lalu lintas yang semakin padat, sehingga konsumen lebih memilih
berbelanja di minimarket yang berlokasi dekat pemukiman, dan konsumen
menghindari konsumsi berlebihan di supermarket
dan hypermarket.
Kebutuhan masyarakat yang beragam membuat pilihan
berbelanja di minimarket menjadi
pilihan utama dari masyarakat. Hal tersebut mengingat adanya konsep kenyamanan
bagi konsumen termasuk di dalamnya kelengkapan produk, tata letak produk yang
baik dan tidak campur aduk, lokasi yang dekat dengan pemukiman, dan harga yang
tidak terlalu tinggi, serta terdapat banyak promosi (penawaran yang diberikan).
Hal ini berhubungan dengan pendapat Harmaizar (2006: 327-328) yang mengatakan bahwa beberapa keuntungan
yang dapat diperoleh konsumen dengan
berbelanja di minimarket yaitu suasana
nyaman dan aman dalam berbelanja; mudah dalam memilih barang-barang yang
diperlukan; kualitas barang lebih terjamin dibandingkan berbelanja di pasar
tradisional; harga barang sudah pasti sehingga tidak perlu tawar menawar lagi;
dan dapat berbelanja berbagai keperluan dalam satu empat saja sehingga akan
menghemat waktu dan tenaga.
Pertumbuhan gerai ritel modern menurut data yang
diperoleh dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) seperti terlihat
pada Grafik 1.1.
Grafik
1.1. Pertumbuhan Nasional Gerai Ritel Modern (Unit)
Sumber: APRINDO
DKI Jakarta
sebagai ibu kota Indonesia, pusat pemerintahan, dan perdagangan menajadikannya
daerah dengan turnover yang tinggi. DKI
Jakarta merupakan provinsi yang
mempunyai penyumbang nilai PDRB yang sangat besar di Indonesia. Sektor yang
cukup besar menyumbang PDRB di DKI Jakarta adalah sektor Perdagangan, industi
pengolahan, konstruksi, dan jasa keuangan dan asuransi. Penyumbang terbanyak
terdapat di sektor perdaganga yang sebagai penyumbang PDRB terbesar di DKI
Jakarta dapat dilihat berdasarkan Tabel 1.2.
Tabel
1.2. PDRB DKI Jakarta menurut Lapanga Usaha atas Dasar Harga Berlaku Tahunan
2016-2017 (Milyar Rupiah)
Sumber: Badan Pusat Statistik DKI
Jakarta (diolah)
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat
bahwa pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang berdasarkan PDRB ( Produk Domestik
Regional Bruto) penyumbang tertinggi diperoleh dari sektor perdagangan.
Berdasarkan atas harga berlaku sektor perdagangan di DKI Jakarta menyumbang
193.823,5 miliar rupiah pada tahun 2017 dengan pertumbuhan yang pesat.
Kota Administrasi Jakarta Selatan
adalah sebuah kota administrasi di bagian Selatan Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta. Luas Wilayah sesuai dengan Keputusan
Gubernur DKI Nomor 1815 tahun 1989 adalah 145,37 km2 atau 22,41% dari luas DKI
Jakarta. Terbagi menjadi 10 kecamatan dan 65
kelurahan dengan kepadatan penduduk mencapai 1.893.705 jiwa dan kepadatan penduduk
mencapai 12.994,61 jiwa/km2 (Tabel
1.3).
Tabel 1.3. Kepadatan
Penduduk Kota Jakarta Selatan Tahun 2010 per Kecamatan
No.
Kecamatan
Total
Luas (km2)
Kepadatan
(jiwa/km2)
1
Tebet
221.421
9.53
23.234,10
2
Setiabudi
100.582
9.05
11.114,03
3
Mampang Prapatan
141.160
7.74
18.237,73
4
Pasar Minggu
257.781
21.91
11.765,45
5
Kebayoran Lama
270.423
19.31
14.004,30
6
Cilandak
181.562
18.20
8.975,93
7
Kebayoran Baru
157.370
12.91
12.189,78
8
Pancoran
119.437
8.23
14.512,39
9
Jagakarsa
242.714
25.38
9.563,20
10
Pesanggrahan
201.255
13.47
14.940,98
Jakarta
Selatan
1.893.705
145.73
12.994,61
Sumber: Sudin
Kependudukan & Catatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan.
Mengingat kepadatan penduduk di Kota
Jakarta Selatan yang sangat padat tersebut maka kebutuhan sehari-hari pun
menjadi faktor penting. Hal tersebut membuat para investor terus mengembangkan
usahanya khususnya dalam bidang penyedia kebutuhan sehari-hari yang bersifat
modern seperti minimarket modern
bahkan supermarket.
Melihat hal tersebut, eksistensi
warung tradisional maupun toko kelontong yang berdiri sendiri dan berbasis
ekonomi kerakyatan akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan munculnya
pasar modern yang di nilai cukup potensial oleh para pebisnis ritel. Ritel
modern yang mengalami pertumbuhan cukup pesat saat ini adalah minimarket dengan
konsep waralaba atau franchise (Wijayanti, 2011).
Pada era modern kini pertumbuhan toko
modern seperti Indomaret dan Alfamart sangat pesat di persebaran wilayah di
Indonesia. Toko-toko modern hampir dapat ditemui di setiap wilayah-wilayah
daerah tertentu dan bahkan saling berhampitan antar perusahaan yang
membelakanginya (Tabel 1.4).
Tabel
1.4. Pertumbuhan Gerai Indomaret dan Alfamart di Indonesia
Tahun
Indomaret
Alfamart
2009
3.892
3.373
2010
4.955
4.812
2011
6.006
5.797
2012
7.245
6.585
2013
8.814
8.557
2014
10.600
9.757
Sumber: Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (diolah)
Berdasarkan Tabel 1.4 dapat terlihat
bahwa setiap tahunnya gerai Indomaret maupun Alfamart terus bertambah jumlahnya
bahkan setiap tahunnya tidak pernah berkurang jumlahnya, namun di balik data
tersebut tidak semua kepemilikan dimiliki sepenuhnya oleh perusahaan ada
sekitar 50% di antaranya adalah gerai tersebut milik pewaralaba (Asosiasi
Pengusaha Ritel Indonesia).
Jakarta Selatan sebagai kota
perdagangan yang memiliki kepadatan penduduk yang padat kini sudah sangat
menjamur minimarket modern. Menjamurnya minimarket
modern terjadi karena berbagai hal diantaranya adalah karena penduduk yang
semakin meningkat di Kota Jakarta Selatan itu sendiri, seiring dengan
pertumbuhan penduduk tersebut maka kebutuhan sehari-hari pun turut meningkat.
Hingga sekarang ini pun pembangunan minimarket modern oleh perusahaan baik
Alfamart maupun Indomaret yang merupakan minimarket dominan terus dilakukan
mengingat kebutuhan sehari-hari masyarakat meningkat akibat semakin padatnya
penduduk di kawasan tersebut. Dari masalah banyaknya minimarket modern tersebut akan berdampak pada kelangsungan usaha
tradisional milik masyarakat sekitar. Berdasarkan permasalahan atau latar
belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “ANALISIS
PENGARUH PERKEMBANGAN MINIMARKET
TERHADAP PERUBAHAN FINANSIAL WARUNG TRADISIONAL (Studi Kasus: Kota Administrasi
Jakarta Selatan).”
1.2.
Rumusan Masalah
Menjamurnya minimarket modern di Indoneisa berdasarkan Tabel 1.4 dapat
menimbulkan dampak bagi masyarakat asli sekitarnya, khususnya masyarakat yang
bermata pencaharian sebagai pengusaha warung tradisional yang sudah berdiri
terlebih dahulu. Minimarket modern yang memang dilengkapi fasilitas yang memadai seperti
pendingin ruangan, sistem pembelanjaan yang swalayan, harga barang yang sudah
pasti, serta konsumen bisa menggunakan pembayaran non-tunai membuat konsumen
lebih tertarik untuk berbelanja ke minimarket
modern.
Hal tersebut bertolak belakang dengan
warung tradisional, mengingat fasilitas yang diberikan masih minim, sistem
pembelanjaan masih bersifat konvensional, dan pembayaran yang harus tunai. Keuntungan merupakan faktor penting bagi
pengusaha toko kelontong demi menjaga kelangsungan usaha mereka. Hasil dari
usaha yang mereka peroleh nantinya dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari
dan biaya usaha mereka ke depannya. Apabila jumlah pengunjung toko kelontong
dan keuntungan dari usaha mereka berkurang maka timbul dampak pada kelangsungan
usaha toko kelontong tersebut atau bahkan sampai ada yang menutup usahanya.
Hal tersebut menarik untuk diteliti
mengingat pertumbuhan minimarket modern yang terus meningkat di Kota
Administrasi Jakarta Selatan. Maka timbul pertanyaan dari penulis sebagai
rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana
pengaruh perkembangan minimarket
terhadap tingkat keuntungan warung tradisonal di Kota Administrasi Jakarta
Selatan?
2.
Bagaimana
pengaruh perkembangan minimarket
terhadap pertumbuhan omset warung tradisonal di Kota Administrasi Jakarta
Selatan?
3.
Bagaimana
pengaruh perkembangan minimarket
terhadap perubahan jumlah demand warung
tradisonal di Kota Administrasi Jakarta Selatan
1.3.
Tujuan Peneliatan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1.
Menganalisis
perubahan keuntungan warung tradisonal sebelum dan sesudah bermunculannya minimarket modern di sekitar toko
kelontong.
2.
Untuk
menganalisis perubahan omset warung tradisonal sebelum dan sesudah adanya minimarket modern di sekitar toko
kelontong.
3.
Untuk menganalisis perubahan jumlah pengunjung
atau pembeli yang datang ke warung tradional sebelum dan sesudah munculnya minimarket modern di sekitar toko tradional.
1.4.
Sistematika Penulisan
1.
BAB
I PENDAHULUAN
Bab pendahuluan berisi latar belakang mengenai permasalahan
penelitian yang dilanjutkan dengan perumusan masalah dan penjabaran tujuan
serta kegunaan dari penelitian.
2.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang teori-teori dan penelitian terdahulu
yang melandasi penelitian ini.
Berdasarkan teori dan dari hasil penelitian-penelitian terdahulu maka akan
terbentuk suatu kerangka pemikiran dan penentuan hipotesis awal penelitian yang
akan diuji.
3.
BAB
III METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan mengenai variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian serta definisi operasionalnya, jenis dan sumber data, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data tersebut untuk mencapai tujuan
penelitian.
4.
BAB
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan tentang gambaran umum objek
penelitian, gambaran singkat variabel penelitian, analisis data, dan pembahasan
mengenai hasil analisis dari obyek penelitian.
5.
BAB
V PENUTUP
Sebagai bab terakhir, bab ini akan menyajikan secara singkat
kesimpulan yang diperoleh dalam
pembahasan. Selain itu bab ini juga akan memuat saran-saran bagi pihak yang
berkepentingan.